Pengamat terorisme dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai aksi terorisme yang terjadi merupakan akibat dari rasa ketidakpuasan, kekecewaan, serta keputusasaan kelompok tertentu di berbagai persoalan. Ia menyebut, para pelaku terorisme bisa saja kecewa terhadap kondisi atau persoalan politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
"Teror sesungguhnya bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri. Dia bersifat interaksionisme dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam atau hate crimes. Kemunculannya menyusul persoalan politik, hukum, ekonomi dan sosial," kata Khairul dalam pers rilisnya, Rabu (30/3).
Sebab itu, ia meminta agar pemerintah maupun pemangku kepentingan pemberantasan terorisme tak lagi menanamkan kebencian. Hal tersebut, kata dia, justru dapat menghambat upaya pemberantasan terorisme. Selain itu, sikap tersebut juga dapat memicu bertambahnya pelaku baru terorisme di tanah air. "Selain tentu saja juga sangat berpotensi melipatgandakan dan menuai ancaman terorisme maupun munculnya pelaku-pelaku baru terorisme di nusantara," kata dia.
Kasus Siyono yang meninggal setelah ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror pun dapat menjadi pelajaran dalam perbaikan tatakelola pemberantasan terorisme di Indonesia. Ia juga menilai peristiwa ini juga harus menjadi bahan kajian dalam revisi UU Pemberantasan Terorisme. Seperti diketahui, Densus menangkap Siyono pada Sabtu malam, di Dusun Brengkuan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, Jawa Tengah.
Karo Penmas Mabes Polri Brigjen Agus Rianto mengatakan, penangkapan Siyono adalah pengembangan dari terduga teroris sebelumnya yang berinisial T alias AW. Setelah penangkapan korban, dilakukan pengembangan dengan pengawalan ketat. Siyono dibawa ke sebuah lokasi, yang menurut pengakuannya, di lokasi itu memberikan dua pucuk senjata api ke seseorang. Dalam perjalanan, Siyono melakukan perlawanan, bahkan menyerang anggota yang mengawal. Hingga berujung pada perkelahian di dalam mobil yang berujung tewasnya Siyono. (Sumber : nasionalrepublika.co.id)